Minggu, 30 Oktober 2011

Pak Guru Jualan Ikan

Ayahnya seorang guru SD. Lima saudara kandungnya guru. Suami atau istri dari saudara Agust juga berprofesi sebagai guru. Maka tidak berlebihan jika profesi guru merupakan belahan jiwa keluarga Drs. Agust Dapa Loka (50).


Tanpa diarahkan oleh Papa waktu itu, saya pilih jalur pendidikan guru. Saya juga tidak tahu, mungkin inilah yang dinamakan soulmate, ungkap alumni jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, IKIP Senata Dharma, Yogyakarta, angkatan 1984 ini.
Agust menduga keinginan tersebut dipicu oleh pengalaman berjumpa dengan banyak guru di kampungnya, Pero, Paroki Waimangura, Sumba-NTT. Apalagi kala itu guru dianggap tahu segalanya. Agust terkagum dengan sosok guru. Almarhum ayahnya dituntut serba tahu. Mulai dari urusan adat, keluarga, pemerintahan, sengketa tanah, katekisasi, dan sebagainya. Agust pun terkagum oleh perjuangan sang ayah yang hanya jebolan Sekolah Guru Bantu (SGB) itu. Agust tak pernah sedikitpun mendengar keluhan ketika persoalan menghadang. Ia bahkan berhasil menyelesaikan setiap masalah yang ada dengan lancar.
Karena telah merasa profesi ini sebagai soulmate, Agust berusaha menjalaninyadengan tekun dan kerja keras. Sebab siapapun tahu, gaji guru apalagi gaji guru swasta di daerah relatif kecil, bahkan tidak cukup untuk hidup dua minggu.

Penjual Ikan


Lalu apa yang Agust lakukan agar tetap bisa survive ? "Kalau sudah begini buang jauh-jauh yang namanya gengsi", ujarnya singkat. Sambil menjadi guru di SMA Katholik Anda Luri, Waingapu-Sumba Timur, Agust pernah melakoni pekerjaan sebagai penjual ikan keliling selama beberapa tahun. Pagi-pagi buta sekitar pukul 02.00 dini hari, Agust sudah berangkat ke pantai yang jaraknya 6 km pergi pulang untuk membeli ikan segar. Di pantai dia tidak segan-segan menceburkan diri di laut untuk menjemput ikan dari perahu nelayan. Sepanjang jalan sepulang dari pantai, Agust menjajakan ikan. Sebagian ia drop ke pasar dan sebagian lagi ia taruh di rumah. lalu sepulang sekolah, tanpa sungkan ia berkeliling dengan motor, keluar masuk perumahan menjajakan ikan.
Agust tidak peduli dengan penilaian orang. Sebab ada yang berkata, "Guru kok jualan ikan? Bikin malu saja". Ia justru semakin bersemangat lantaran tahu persis kebutuhan hidupnya tidak mungkin tercukupi oleh gajinya yang waktu itu hanya sekitar Rp. 700.000,-. Bayangkan gaji ini dia pakai untuk membiayai keluarga dan mengobati ayahnya yang sedang sakit. Meski begitu, tidak sedikit juga orang yang mengapresiasi dirinya dengan menyebut dia sebagai "Guru Pejuang". Bahkan, beberapa orang tua menasehati anak mereka yang malas dengan menunjuj Agust sebagai contoh orang yang patut ditiru.

Petani Penggarap


Agust kemudian beralih menjadi petani sawah. Beberapa hektar sawah sewaan ia garap. "Saya sendiri yang garap. Mau suruh siapa? Anak-anak saya masih kecil saat itu, lagi pula saya tidak tega suruh mereka kerja sawah. Biarlah mereka belajar", ungkap pria humoris ini. Saat menggarap sawah, perasaan letih, gelisah dan penuh harap menghiasi pikiran dan hatinya. Letih karena harus bertarung dengan matahari Sumba Timur yang panas. Gelisah karena kalau panennya gagal, maka harapan anak-anaknya untuk bisa membeli buku tambahan menjadi kandas. Berharap, karena dengan hasil sawah itu juga ia tetap bisa menunjukkan bakti kepada ibunya dikampung dengan mengirimkan beras hasil keringatnya sendiri.
" Ada perasaan sangat puas jika saya bisa kirim beras dari hasil tangan saya sendiri buat Mama di kampung. Beda sekali rasanya kalau mengirim beras hasil beli dari pasar", jelasnya dengan mata berkaca-kaca. Kini perjuangan Agust terasa lebih berat lagi. Sebab sejak 16 Juni 2009 ia hidup hanya dengan kaki kiri. Kaki kanannya diamputasi akibat sebuah kecelakaan lalu lintas. Mengalami rangkaian perjalanan hidup tersebut, Agust tidak mau mengeluh. Belum bisa memakai kaki palsu pun, ia tidak mengeluh. baginya mengeluh hanyalah bentuk lain dari kealpaan menangkap rahmat Tuhan.

Sumber : Majalah Rohani "BAHANA" 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar