Minggu, 30 Oktober 2011

Pak Guru Jualan Ikan

Ayahnya seorang guru SD. Lima saudara kandungnya guru. Suami atau istri dari saudara Agust juga berprofesi sebagai guru. Maka tidak berlebihan jika profesi guru merupakan belahan jiwa keluarga Drs. Agust Dapa Loka (50).


Tanpa diarahkan oleh Papa waktu itu, saya pilih jalur pendidikan guru. Saya juga tidak tahu, mungkin inilah yang dinamakan soulmate, ungkap alumni jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, IKIP Senata Dharma, Yogyakarta, angkatan 1984 ini.
Agust menduga keinginan tersebut dipicu oleh pengalaman berjumpa dengan banyak guru di kampungnya, Pero, Paroki Waimangura, Sumba-NTT. Apalagi kala itu guru dianggap tahu segalanya. Agust terkagum dengan sosok guru. Almarhum ayahnya dituntut serba tahu. Mulai dari urusan adat, keluarga, pemerintahan, sengketa tanah, katekisasi, dan sebagainya. Agust pun terkagum oleh perjuangan sang ayah yang hanya jebolan Sekolah Guru Bantu (SGB) itu. Agust tak pernah sedikitpun mendengar keluhan ketika persoalan menghadang. Ia bahkan berhasil menyelesaikan setiap masalah yang ada dengan lancar.
Karena telah merasa profesi ini sebagai soulmate, Agust berusaha menjalaninyadengan tekun dan kerja keras. Sebab siapapun tahu, gaji guru apalagi gaji guru swasta di daerah relatif kecil, bahkan tidak cukup untuk hidup dua minggu.

Penjual Ikan


Lalu apa yang Agust lakukan agar tetap bisa survive ? "Kalau sudah begini buang jauh-jauh yang namanya gengsi", ujarnya singkat. Sambil menjadi guru di SMA Katholik Anda Luri, Waingapu-Sumba Timur, Agust pernah melakoni pekerjaan sebagai penjual ikan keliling selama beberapa tahun. Pagi-pagi buta sekitar pukul 02.00 dini hari, Agust sudah berangkat ke pantai yang jaraknya 6 km pergi pulang untuk membeli ikan segar. Di pantai dia tidak segan-segan menceburkan diri di laut untuk menjemput ikan dari perahu nelayan. Sepanjang jalan sepulang dari pantai, Agust menjajakan ikan. Sebagian ia drop ke pasar dan sebagian lagi ia taruh di rumah. lalu sepulang sekolah, tanpa sungkan ia berkeliling dengan motor, keluar masuk perumahan menjajakan ikan.
Agust tidak peduli dengan penilaian orang. Sebab ada yang berkata, "Guru kok jualan ikan? Bikin malu saja". Ia justru semakin bersemangat lantaran tahu persis kebutuhan hidupnya tidak mungkin tercukupi oleh gajinya yang waktu itu hanya sekitar Rp. 700.000,-. Bayangkan gaji ini dia pakai untuk membiayai keluarga dan mengobati ayahnya yang sedang sakit. Meski begitu, tidak sedikit juga orang yang mengapresiasi dirinya dengan menyebut dia sebagai "Guru Pejuang". Bahkan, beberapa orang tua menasehati anak mereka yang malas dengan menunjuj Agust sebagai contoh orang yang patut ditiru.

Petani Penggarap


Agust kemudian beralih menjadi petani sawah. Beberapa hektar sawah sewaan ia garap. "Saya sendiri yang garap. Mau suruh siapa? Anak-anak saya masih kecil saat itu, lagi pula saya tidak tega suruh mereka kerja sawah. Biarlah mereka belajar", ungkap pria humoris ini. Saat menggarap sawah, perasaan letih, gelisah dan penuh harap menghiasi pikiran dan hatinya. Letih karena harus bertarung dengan matahari Sumba Timur yang panas. Gelisah karena kalau panennya gagal, maka harapan anak-anaknya untuk bisa membeli buku tambahan menjadi kandas. Berharap, karena dengan hasil sawah itu juga ia tetap bisa menunjukkan bakti kepada ibunya dikampung dengan mengirimkan beras hasil keringatnya sendiri.
" Ada perasaan sangat puas jika saya bisa kirim beras dari hasil tangan saya sendiri buat Mama di kampung. Beda sekali rasanya kalau mengirim beras hasil beli dari pasar", jelasnya dengan mata berkaca-kaca. Kini perjuangan Agust terasa lebih berat lagi. Sebab sejak 16 Juni 2009 ia hidup hanya dengan kaki kiri. Kaki kanannya diamputasi akibat sebuah kecelakaan lalu lintas. Mengalami rangkaian perjalanan hidup tersebut, Agust tidak mau mengeluh. Belum bisa memakai kaki palsu pun, ia tidak mengeluh. baginya mengeluh hanyalah bentuk lain dari kealpaan menangkap rahmat Tuhan.

Sumber : Majalah Rohani "BAHANA" 2010

Sabtu, 29 Oktober 2011

Aku Mau Ibu Kembali (the True Story from China)


Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki-laki yang luar biasa,sebut saja namanya Zhang Da. Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orangyang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China. Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, diPropinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da.
Pada waktu tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Ibunya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Bapak yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Bapaknya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia.
Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai.
Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.
"Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan bapaknya." demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.
Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk bapaknya.
Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat. ZhangDa Merawat Bapaknya yang Sakit. Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat bapaknya. Ia menggendong bapaknya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan bapaknya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan bapaknya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.
Zhang Da menyuntik sendiri bapaknya.Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian. Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik bapaknya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun,maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.
> > Aku Mau Ibu Kembali <<
Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, "Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!"
Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, "Sebut saja, mereka bisa membantumu" Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, "Aku Mau Ibu Kembali. Ibu kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Bapak, aku bisa cari makan sendiri, Ibu Kembalilah!" demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan penuh harap.
Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan bapaknya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat katabelece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Ibu Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat Ibunya pergi meninggalkan dia dan bapaknya.
(aku yang selalu sangat mencintai Ibuku meski telah tiada. Dengan kesedihan yang begitu mendalam, aku berharap bisa segera bertemu lagi dengannya)

Sumber : Blessing for Blessed

Melayani Kegerakan, Memberdayakan Generasi


Saat ini, lebih dari 3,9 Milyar penduduk tinggal di Asia, 61% dari total penduduk dunia. Peningkatan pengaruh Asia telah menjadi fokus dari berbagai media global, terutama dalam area ekonomi, bisnis dan teknologi.
Fenomena ini diyakini terus berlanjut dengan semakin meningkat sejalan dengan seluruh dunia yang melihat asia sebagai garis depan dari pergerakan dan perubahan dalam milenium ini.
Empowered21 Asia adalah bagian dari suatu kegerakan besar  Roh Kudus dalam menjawab kelaparan secara rohani di region ini. Empowered21 Asia akan berpusat pada pemberdayaan generasi muda untuk memberikan dampak pada negara mereka.Dunia akan melihat kebangkitan rohani yang luarbiasa saat Allah bergerak melawat Asia.



Oleh karena itu, Empowered21 Asia akan diluncurkan di Sentul International Convention Center, Jakarta, Indonesia. Suatu acara yang dikelola oleh Kabinet Eksekutif  Empowered 21 Asia, Pusat Pelayanan Internasional untuk Kegerakan Pembaharuan dan Penyembuhan.
Kami bertujuan untuk memperlengkapi dan memberdayakan setiap orang muda, para pemimpin, para pendeta & setiap orang percaya dengan kuasa Roh Kudus,  dan mengimpartasikan pengalaman-pengalaman berharga, pengajaran dan topik-topik yang menguatkan anda melalui para pembicara, pemimpin & pelopor kegerakan yang luarbiasa, disertai dengan team- team penyembah dari Asia yang sangat diurapi.
Bersiaplah untuk mengalami pengalaman yang mengubahkan hidup anda, pertemuan dengan Roh Kudus saat Ia memimpin anda dalam pengalaman yang luar biasa dalam kehidupan Rohani dan pelayanan anda.

Sumber : Anak Panah / Empowered 21 Asia

Minggu, 23 Oktober 2011

“The Salvation of the Soul”


“At the end of the European War, there was a huge celebration in London. The turnout was unprecedented in the history of London. The war had just concluded, and the soldiers were having a victory parade and were there to be welcomed by the crowd. As the soldiers paraded through, the people cheered and applauded. In the minds of many, were it not for the courage of these soldiers, England could not have been saved. The applause persisted as the soldiers marched onward step by step. While the units passed by rank after rank, suddenly, there was a crescendo of applause; in fact, many started weeping. The nobility saluted, and even the king took off his crown. What had happened? Trailing behind was car after car of soldiers who had either broken arms, injured legs, missing limbs, or serious wounds. These were the ones who were wounded in battle. They were received with the greatest honor and respect. The soldiers who marched ahead of them made it; however, the glory they received could hardly be compared to that of these wounded soldiers.
Those who are scarcely saved will enter into heaven on that day, but they will not have a rich and abundant entrance into God’s kingdom. If we have suffered on earth and forsaken things for the Lord’s sake, on that day we will enjoy what those wounded soldiers enjoyed in their triumphant procession. The applause will be loud, the praises will be great, and the glory will also be great. Every one of us should endure pain and suffer loss for the Lord’s sake. On that day, we will receive a crown on our head. Our soul must be saved. May we be poorer, may we suffer more, and may we forsake all for the Lord’s sake. May God bless us.”
2 PETER 1:10-11
“Therefore, brothers, be the more diligent to make your calling and selection firm, for doing these things you shall by no means ever stumble. For in this way the entrance into the eternal kingdom of our Lord and Savior Jesus Christ will be richly and bountifully supplied to you.” The fact that these ones were called brothers shows that they were saved. However, they still needed to be more diligent to make their calling and election firm. Eternal life, once received, cannot be shaken. But in the kingdom, some shall be shaken.
Sumber : Anak Damai Sejahtera

Belajarlah dari Domba yang Bodoh!


Ada sepasang suami isteri, di dalam Tuhan boleh dikatakan lumayan, mereka cukup bergairah bekerja untuk Tuhan. Tetapi tidak lama kemudian, anak kesayangan mereka meninggal dunia. Kemudian, dengan penuh amarah mereka berkata, “Mulai sekarang kami berdua tidak mau melayani Allah lagi. Kami telah dengan setia melayaniNya, Dia bukan saja tidak memberkati, malah membuat anak kami mati.” Demikianlah mereka kemudian menempuh penghidupan sehari-hari dengan sesukanya sendiri, tidak lagi seperti dulu bergairah melayani, tidak mau menuntut kemajuan rohani. Demikianlah waktu berlalu sekitar 8 sampai 9 tahun.
Pada suatu hari, si suami sedang berjalan di suatu belantara, terlihatlah olehnya seorang penggembala domba yang akan menyeberangkan kawanan domba melewati sebuah anak sungai. Pada masa itu, umumnya di anak sungai di desa-desa tidak ada jembatan yang baik, hanya ada papan-papan yang melintang yang menghubungkan kedua tepian. Bagi manusia, jembatan “darurat” itu masih boleh, tetapi bagi hewan, dalam hal ini kawanan domba, sangatlah sulit; karena domba adalah hewan yang penakut lagi bodoh. Sebab itu meskipun gembala itu mencambuk dan mendorongnya, mereka tetap tidak berani menyeberang. Gembala itu kehabisan akal, akhirnya diangkatnya seekor anak domba kecil yang sangat disayangi oleh induk domba, digendongnya domba kecil itu dan ia menyeberangi jembatan itu. Demi dilihat induk domba itu bahwa anaknya yang disayangi dibawa ke seberang, segera ia memberanikan diri menempuh bahaya untuk mengikutinya, kemudian kawanan domba yang lainpun ikut menyeberang.
Begitu melihat kejadian ini, si suami segera berkata, “Cukuplah.” Sejak hari itu dia kembali dibangunkan. Di kemudian hari ia bersaksi, “Karena Allah tidak menghendaki aku tertinggal di seberang sungai ini, maka Dia telah membawa anakku menyeberang lebih dulu. Domba yang begitu bodoh saja mengetahui dan akhimya ikut menyeberang, mengapa aku masih saja berlambat-lambatan dan tidak mau segera menyeberang?”
Sumber: Literatur Yasperin

Sabtu, 22 Oktober 2011

God is not Fair?


Suatu perlombaan lari 400 meter diadakan untuk menguji siapakah manusia tercepat di dunia. Lomba itu sangat diminati oleh banyak orang, oleh karena memiliki hadiah yang sangat besar dan merupakan perlombaan bergengsi. Semua peserta telah bersiap di garis Start dan akan menempuh jarak yang sama, serta memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencapai garis Finish dan mendapatkan hadiah.
Setelah siap, tanda mulai pun dilakukan dengan tembakan pistol, semua peserta pun melesat dengan sigap dan dengan sekuat tenaga dan saling berusaha untuk saling mendahului satu sama lain. Sorak sorai penonton pun bergemuruh menambah serunya pertandingan. Tiba-tiba terjadilah sebuah insiden kecil, pada tikungan ke dua, dua orang atet sepertinya bersinggungan, dan karena gesekan itu keduanya menjadi melambat dan tertinggal oleh pelari lain.

Sebagian penonton memperhatikan dengan serius insiden kecil tersebut dan sebagian besar bersorak-sorak gemuruh melihat pelari yang terus berusaha berada di depan barisan dan saling bersaing satu sama lain. Salah satu atlet yang bersinggungan tadi merasa sangat terganggu dan seketika ia memutuskan untuk berhenti dan menyatakan protes dan berteriak kepada atlet lain, “mengapa engkau menyenggol aku,? Kemudian ia berteriak kepada panitia “ini tidak fair, ada kecurangan dibiarkan saja.” Karena tidak ada yang memberi respon, ia malah berteriak kepada penonton “Ini curang, saya minta pertandingan diulang!
Akibat protes orang itu,  atlet kedua yang bersinggungan dengan orang tersebut menoleh kebelakang dan akhirnya juga semakin tertinggal jauh dari peserta lain, dan juga menjadi kesal. Sebagian besar penonton tidak mempedulikan sama sekali insiden kecil itu dan tetap fokus dan bersorak untuk penonton yang berlari paling depan dan akhirnya memenangkan pertandingan. Semua penonton berteriak-teriak bersorak-sorak melihat kemenangan itu, dan sang juara pun mengelilingi lapangan sekali lagi sambil melambaikan tangan kepada para penonton.
Dalam kehidupan ini kita sering mendengar lontaran “God is not fair!” Jika berandai-andai tentang apa yang dilakukan Tuhan, maka kita akan menemukan bahwa seringkali kelihatannya keputusan Tuhan itu tidak cocok dengan keinginan kita. Banyak peristiwa dalam kehidupan ini kelihatannya seperti dunia yang tidak adil, namun di sisi lain bagi banyak orang kehidupan di dunia ini adalah arena perjuangan hidup, yang seringkali menuntut perjuangan, ketabahan, kreativitas, kesabaran dan ketekunan. Jikalau kita hanya melihat kehidupan dari sisi negatif saja maka segala sesuatu akan menjadi negatif, yang muncul hanya ketidak puasan, menyalahkan keadaan bahkan tidak jarang mempersalahkan Tuhan sebagai penyebab kegagalan.
Dengan berpikir positif, seseorang dapat melahirkan sikap optimis dan melihat peluang keberhasilan. Sikap seperti inilah yang dibutuhkan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.  Keberhasilan hidup dan kemenangan seringkali dipengaruhi oleh cara kita melihat hidup dan semua permasalahan di dalamnya. Masalah pasti akan datang dan akan dialami oleh setiap orang, namun cara menghadapi dan cara menangani masalah itu akan memberikan hasil yang berbeda. Para pemenang selalu fokus pada usaha untuk mencapai garis finish, semua kesulitan dan rintangan dihadapi dengan berani dan selalu berusaha untuk mencapai keberhasilan utama.


Sumber : Inspirasi Jiwa

Kamis, 20 Oktober 2011

Doa Tanpa Arti


Pada suatu malam yang sangat dingin, seorang pemuda duduk di dekat perapian di rumahnya untuk menghangatkan badan. Saat pandangannya menatap jendela rumahnya, dilihatnya seorang kakek sedang berjalan ditengah salju yang putih.

Sang Pemuda kemudian berpikir, “Ah Malangnya kakek itu, dia harus berjalan ditengah badai salju seperti ini. Baiklah aku akan mendoakan dia saja agar dapat tempat berteduh.”

Pemuda itu lalu berdoa kepada Tuhan : “Tuhan bantulah agar orang tua di depan rumahku ini mendapatkan tempat untuk berteduh. Kasihan Tuhan dia kedinginan.”

Ketika si pemuda mengakhiri doanya dilihatnya sang kakek berjalan mendekati rumahnya dan diapun sempat mendengar suara rintihan sang kakek yang kedinginan ketika sang kakek bersandar di dekat jendela rumahnya. Mendengar itu sang pemuda berdoa lagi kepada Tuhan. “ Tuhan lihatlah sang kakek di luar rumah itu. Kasihan sekali dia Tuhan, biarlah Engkau membantunya agar dia tidak kedinginan lagi.bantulah agar dia mendapatkan tempat berteduh yang hangat.”

Setelah itu si pemuda pun tidur lelap. Keesokan harinya si pemuda terbangun karena suara gaduh masyarakat sekitarnya. Dia pun keluar rumah dan menemukan sang kakek telah meninggal bersandar di dekat jendela rumahnya.

Si pemuda kemudian berdoa lagi kepada Tuhan, “Tuhan mengapa Engkau membiarkan kakek itu meninggal kedinginan padahal aku sudah mendoakannya agar dia selamat.”

Tuhan pun menjawab si pemuda itu, “Aku mendengar doamu hai pemuda. Aku sudah membimbing kakek itu agar mendekati rumahmu. Akan tetapi engkau tak menghiraukannya bahkan ketika kakek itu merintih di depan jendela rumahmu.”

Kekalahan, Kemenangan, Keindahan


Entah sejak kapan mulainya, sudah lama manusia hidup hanya dengan sebuah tema: memburu kemenangan, mencampakkan kekalahan. Di Jepang dan berbagai belahan dunia lainnya, tidak sedikit manusia yang mengakhiri hidupnya semata-mata karena kalah. Karena semua hal yang melekat pada kekalahan  serba negatif: jelek, hina.
Sekolah sebagai tempat di mana masa depan disiapkan rupanya ikut-ikutan. Melalui program serba juara, sekolah ikut memperkuat keyakinan  bahwa ‘kalah itu musibah’. Tempat kerja juga serupa. Tidak ada tempat kerja yang absen dari kegiatan sikut-sikutan. Semuanya mau pangkatnya naik. Tidak ada yang mau turun. Lebih-lebih dunia politik, kekalahan hanyalah kesialan. Dan bila boleh jujur, aroma seperti inilah yang mewarnai Indonesia di awal April 2009 menjelang pemilu sekaligus pilpres.
Kalah juga indah
Tidak ada yang melarang manusia mengejar kemenangan. Kemenangan ibarat padi bagi petani, seperti ikan buat nelayan. Ia pembangkit energi yang membuat kehidupan berputar. Ia pemberi semangat agar manusia tidak kelelahan. Namun seberapa besar pun energi maupun  semangat manusia, bila putaran waktunya kalah, tidak ada yang bisa menolaknya.
Oleh karena itulah, orang bijaksana belajar melatih diri untuk tersenyum baik di depan kemenangan maupun kekalahan. Berjuang, berusaha, bekerja, berdoa tetap dilakukan. Namun bila hadiahnya kekalahan, hanya senyuman yang memulyakan perjalanan.
Membawa tropi sebagai simbol kemenangan itu indah. Dihormati karena menang juga indah. Tapi tersenyum di depan kekalahan, hanya orang yang pandangannya mendalam yang bisa melakukannya. Ibarat gunung, pemenang-pemenang itu serupa dengan batu-batu di puncak gunung. Mereka tidak bisa duduk di puncak gunung bila tidak ada batu-batu di dasar dan lereng gunung (baca: pihak yang kalah).
Sebagian orang bijaksana malah bergumam, kekalahan lebih memuliakan perjalanan dibandingkan kemenangan. Terutama karena di depan kekalahan manusia sedang dilatih, dicoba, dihaluskan. Kekalahan di jalan ini berfungsi seperti amplas yang menghaluskan kayu yang mau jadi patung berharga mahal. Serupa pisau tajam yang sedang melukai bambu yang akan jadi seruling yang mewakili keindahan.
Kesabaran, kerendahatian, ketulusan, keikhlasan, itulah kualitas-kualitas yang sedang dibuka oleh kekalahan. Serangkaian hadiah yang tidak mungkin diberikan oleh kemenangan. Ia yang sudah membuka pintu ini, akan berbisik: kalah juga indah!. Itu sebabnya seorang guru pernah berpesan: “0ld friends pass away, new friends appear. The most important thing is to make it meaningful“. Semua datang dan pergi (kemenangan, kekalahan, keberuntungan, kesialan), yang paling penting adalah bagaimana mengukir makna dari sana.
Jarang terjadi ada manusia yang mengukir makna mendalam ditengah gelimang kemenangan. Terutama karena kemenangan mudah sekali membuat manusia tergelincir ke dalam kemabukan dan lupa diri. Pengukir-pengukir makna yang mengagumkan seperti Kahlil Gibran, Jalalludin Rumi, Rabindranath Tagore, Thich Nhat Hanh semuanya melakukannya di tengah-tengah kesedihan. HH Dalai Lama bahkan menerima hadiah nobel perdamaian sekaligus penghargaan sebagai warga negara kelas satu oleh senat AS, setelah melewati kesedihan dan kekalahan selama puluhan tahun di pengasingan.
Memaknai kekalahan
Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realita sebagaimana apa adanya dengan kebiasaan seseorang mengerti (habit of undestanding). Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang, menuntut selalu lebih, akan melihat kehidupan yang tidak menyenangkan di mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu  bersyukur, ikhlas, tulus  lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.
Belajar dari sini, titik berangkat dalam memaknai kekalahan adalah melihat kebiasaan kita dalam mengerti. Dalam bahasa seorang kawan: the blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan ketidakpuasan mendikte pengertian, hanya akan memperpanjang daftar panjang penderitaan yang sudah panjang.
Seorang guru mangambil sebuah gelas yang berisi air, kemudian meminta muridnya memasukkan sesendok garam ke dalamnya dan diaduk. Setelah dicicipi ternyata asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid yang sama ke kolam luas lagi-lagi dengan sesendok  garam yang dicampurkan ke air di kolam. Kali ini rasa air tidak lagi asin.
Inilah yang terjadi dengan batin manusia. Bila batinnya sempit dan rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi) maka kehidupan menjadi mudah asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Tatkala batinnya luas tidak terbatas, tidak ada satu pun hal yang bisa membuat kehidupan jadi mudah asin rasanya.
Dengan modal seperti ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia sudah berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas. Berusaha, bekerja, belajar, berdoa itu adalah tugas-tugas kehidupan. Namun seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam (baca: tanpa rasa asin).
Apa yang kerap disebut menang-kalah, sukses-gagal dan bahkan hidup-mati, hanyalah wajah-wajah putaran  waktu. Persis ketika jam menunjukkan sekitar jam enam pagi, waktunya matahari terbit. Bila jam enam sore putaran waktu matahari tenggelam. Memaksa agar jam enam pagi matahari tenggelam, tidak saja akan menjadi korban canda tetapi juga korban karena kecewa.
Maafkanlah bila terdengar aneh. Pejalan kaki ke dalam diri yang sudah teramat jauh bila ditanya mau kaya atau miskin, ia akan memilih miskin. Bila diminta memilih antara menang dan kalah, ia akan memilih kalah. Kaya tentu saja berkah, namun sedikit ruang-ruang latihan di sana. Miskin memang ditakuti banyak orang, namun kemiskinan menghadirkan daya paksa yang tinggi untuk senantiasa rendah hati. Menang memang membanggakan, namun godaan ego dan kecongkakannya besar sekali. Kalah memang tidak diinginkan nyaris semua orang, tetapi kekalahan adalah ibunya kesabaran.
Seorang guru meditasi yang sudah sampai di sini pernah berbisik, finally l realize there is no difference between  mind and  sky. Inilah buah meditasi. Batin menjadi seluas langit. Tidak ada satu pun awan (awan hitam kesedihan, awan putih kebahagiaan) yang bisa merubah langit. Dan ini lebih mungkin terjadi dalam manusia yang sudah berhasil memaknai kekalahan. 

Sumber : Inspirasi Jiwa

Rabu, 19 Oktober 2011

Kesuksesan Samuel Membawa Petaka


Kesuksesan tidak selalu berdampak positif bagi yang mengalaminya. Tanpa karakter yang kuat, kesuksesan  dapat membuat seseorang lupa diri. Salah seorang mengalami lupa diri saat sukses seperti ini adalah Samuel Lekahena.
Kisahnya dimulai saat ia baru saja mendapatkan jabatan baru dan diperkenalkan oleh seorang rekan kerjanya pada seorang wanita, Ita Purnamawardani. Tiga bulan menjalin hubungan, Ita langsung meminta Samuel menikah. Pernikahannya terlihat bahagia, apa lagi sang istri tidak lama kemudian mengandung. Namun inilah pengakuan Samuel:
“Waktu istri saya mulai hamil, saya masih bisa selingkuh.”
Yang lebih kejam lagi, Samuel selingkuh dengan wanita yang mengenalkannya pada sang istri yang tak lain rekan satu kerjanya dan juga tetangganya.
“Awalnya mungkin karena kasihan, karena dia sering curhat akhirnya kami jadi berhubungan seperti itu,” demikian jelas Samuel.
Hubungannya dengan wanita selingkuhannya membuat sikap Samuel berubah, semua itu dilakukannya untuk menutupi kecurigaan sang istri.
“Saya kasar sama dia, dengan dia diam, saya pikir masalah selesai.”
Tapi sebaik apapun kebusukan ditutupi, baunya pasti tercium juga. Demikian juga dengan perselingkuhan Samuel, apa yang tidak pernah dipikirkannya terjadi. Dua orang polisi mendatangi rumah Samuel. Istrinya yang sedang hamil tua shock saat Samuel di cokok oleh polisi.
“Saya melihat istri saya dalam kondisi seperti itu, saya hanya bisa menyesali diri saja..” ungkap Samuel.
Selepas Samuel dibawa oleh polisi, tetangganya yang adalah suami dari perempuan yang menjadi selingkuhan Samuel datang kepada Ita dan menjelaskan bahwa Samuel itu telah menghamili istrinya. Itu sebabnya ia melaporkan Samuel kepada polisi.
“Kok ada masalah seperti ini, saya ngga mau anak ini lahir.. Setelah saya nangis, saya sadar kalau saya pukulin perut saya nanti anak saya lahir cacat,” demikian Ita bertutur sambil matanya berkaca-kaca.
Sekalipun telah disakiti, namun masih ada cinta di hati Ita untuk Samuel. Karenanya, Ita dengan setia tetap mengunjungi Samuel di penjara. Penyesalan dan maaf, itu yang terlontar dari mulut Samuel. Tapi penyesalan itu ada saat ia dibalik jeruji, ketika ia telah bebas dan kembali bekerja, semua penyesalan itu tidak diingatnya lagi.
“Dengan gampang sekali saya mendapatkan uang, akhirnya saya pacari dua orang karyawan saya. Waktu yang harusnya buat istri, saya pakai untuk bersama mereka.”
Jauh dilubuk hati Samuel, sebenarnya ia tidak ingin menjadi seperti itu. Prilakunya tak jauh beda dengan prilaku ayahnya, pribadi yang ia benci.
“Begitu ibu saya hamil, bapak saya tidak bertanggung jawab,” tutur Samuel. “Saya belum pernah mengenal sosok seorang ayah di rumah, hidup maunya saya sendiri. Tidak ada yang bisa melarang.”
Tapi kini, dirinya jadi seperti sang ayah. Ia menjadi pria yang tidak punya perasaan, bahkan ia dengan berani membawa wanita selingkuhannya ke rumah. Suatu hari, salah seorang selingkuhannya memberitahu Ita bahwa Samuel tengah bersama seorang wanita. Sudah tak tahan dengan ulah Samuel, Ita pun mendatangi rumah wanita itu.
“Kalau kamu sayang sama suami saya, kamu ambil juga ngga papa!” demikian ucap Ita sambil menggandeng anaknya. “Saya rela kok, ambil aja. Tapi panggil orangtua kamu!”
“Kamu juga,” tunjuk Ita pada Samuel. “Panggil orangtua kamu, silahkan daripada kamu berbuat zinah!”
Untuk menenangkan keadaan, akhirnya Samuel pulang kerumah. Tiba dirumah, Samuel seperti telah dibutakan oleh cinta sesaatnya dengan wanita selingkuhannya.
“Waktu itu saya sudah kalut, ya sudahlah. Ini sudah tidak bisa dipertahankan. Kita bubar saja..” permintaan cerai itu akhirnya dilontarkan oleh Samuel.
Ita seperti tidak percaya Samuel tega mengatakan hal itu, hatinya hancur. Padahal dirinya sudah mengorbankan banyak hal untuk mempertahankan rumah tangganya, termasuk perasaan dan harga dirinya.
”Pengin saya, rumah tangga itu harmonis,” ucap Ita. “Tapi kok dia minta cerai..”
Ita menanggapi serius pernyataan Samuel, ia pun mengemas barang-barang miliknya dan anaknya. Tapi tiba-tiba Samuel datang.
“Maafin saya ya… Saya sangat sayang sama kamu,” demikian ungkap Samuel.
“Saya cuma bisa bilang saya nyesal. Tapi itulah perbuatan-perbuatan saya. Saya takut, sampai saat ini pun saya masih takut, saya takut anak saya mengalami seperti apa yang saya lakukan pada orang lain,” jelas Samuel.
Samuel sungguh beruntung memiliki istri seperti Ita yang begitu berbesar hati menerima permintaan maafnya yang kesekian kalinya.
Tapi badai belum selesai menerpa rumah tangga Samuel dan Ita. Perusahaan tempat Samuel bekerja gulung tikar karena krisis, dan Samuel pun dirumahkan. Tanpa pekerjaan dan uang, Samuel pun putus dengan wanita-wanita selingkuhannya. Saat itu, dirumah memperhatikan istri dan anaknya yang masih tetap rajin beribadah, muncul sebuah kegalauan di hati Samuel.
“Timbul dalam benak saya, harusnya saya jadi sosok ayah yang baik. Harusnya saya menjadi nahkoda yang baik. Tapi saat itu bukan saya yang jadi nahkoda, tapi saya yang jadi anak buah. Saya lihat anak saya antusias dan suka beribadah. Kenapa saya ngga? Disitu saya merasa malu, merasa tertuduh terhadap diri saya sendiri.”
Melihat ketekunan istri dan anaknya, akhirnya Samuel memutuskan untuk membuat sebuah langkah yang akan mengubah hidupnya.
“Aku boleh ngga ikut?” demikian tanya Samuel pada sang istri yang akan pergi beribadah.
Dengan sangat antusias dan gembira  Ita menjawab, “Boleh… ngga ada yang larang kok..”
Melihat tanggapan istri dan anaknya, Samuel bersemangat. Ia tahu bahwa masih ada istri dan anaknya yang mengharapkannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sejak itu, Samuel mulai rajin mengikuti berbagai ibadah. Hingga suatu hari di sebuah seminar rohani, ia mengalami sesuatu dalam batinnya.
“Disitu ada banyak sesi yang memberkati saya, terutama hal mengampuni dan mengaku dosa. Disitu saya belajar mengampuni bapak saya sekalipun dia menyakiti saya. Disitu saya dapat, kalau saya tidak mengampuni bapak di dunia, bagaimana Bapak di Sorga mau mengampuni saya. Saat itu saya juga mengakui dosa-dosa saya. Pada saat saya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat saya secara pribadi, saya merasakan bahwa dosa-dosa saya sudah diampuni. Akhinya saya diingatkan bahwa seorang imam yang baik itu dia harus bisa melindungi, dia harus berdoa, dia harus bisa menjaga keluarganya. Luar biasa, lega banget.”
Setelah mengikuti seminar tersebut, Samuel langsung menghubungi istrinya melalui SMS, “Saya minta ampun sama dia, dan puji Tuhan ada kata pengampunan buat saya.”
Berlahan-lahan, kepercayaan Ita pada Samuel mulai pulih. Ita bukan hanya melepaskan pengampunan pada Samuel, namun juga pada wanita-wanita mantan selingkuhan suaminya. Kini, Samuel dan Ita menjalani babak baru dalam kehidupan rumah tangga mereka.
“Saya bisa berubah seperti ini, itu karena kuasa Tuhan. Istri saya sendiri tidak sanggup untuk mengubah saya. Hanya Yesus saja, Tuhan yang memampukan saya dan merubah saya,” demikian ungkap Samuel menutup kesaksiannya. (Kisah ini ditayangkan 13 Oktober 2011 dalam acara Solusi Life di O’Channel)

Sumber Kesaksian:
Samuel Lekahena

Senin, 17 Oktober 2011

Berkat atau Kutuk


Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja menginginkan hartanya itu. Kuda seperti itu belum pernah di lihat begitu kemegahannya, keagungannya dan kekuatannya.
Orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orang tua itu selalu menolak, “Kuda ini bukan kuda bagi saya,” ia akan mengatakan. “Ia adalah seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual seseorang. Ia adalah sahabat bukan milik. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat.” Orang itu miskin dan godaan besar. Tetapi ia tetap tidak menjual kuda itu.
Suatu pagi ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. Seluruh desa datang menemuinya. “Orang tua bodoh,” mereka mengejek dia, “sudah kami katakan bahwa seseorang akan mencuri kudamu. Kami sudah peringatkan bahwa kamu akan di rampok. Anda begitu miskin. Mana mungkin anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga? Sebaiknya anda sudah menjualnya. Anda boleh minta harga apa saja. Harga setinggi apapun akan di bayar juga. Sekarang kuda itu hilang dan anda dikutuk oleh kemalangan.”
Orang tua itu menjawab, “Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu; selebihnya adalah penilaian. Apakah saya di kutuk atau tidak, bagaimana Anda dapat ketahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi?”
Orang protes, “Jangan menggambarkan kita sebagai orang bodoh! Mungkin kita bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak di perlukan. Fakta sederhana bahwa kudamu hilang adalah kutukan.”
Orang tua itu berbicara lagi, “Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu kutukan atau berkat, saya tidak dapat katakan. Yang dapat kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti?”
Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang selalu menganggap dia orang tolol; kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu miskin, orang tua yang memotong kayu bakar dan menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia betul-betul tolol.
Sesudah lima belas hari, kuda itu kembali. Ia tidak di curi, ia lari ke dalam hutan. Ia tidak hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa berkumpul di sekeliling tukang potong kayu itu dan mengatakan, “Orang tua, kamu benar dan kami salah. Yang kami anggap kutukan sebenarnya berkat. Maafkan kami.”
Jawab orang itu, “Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah balik. Katakan saja bahwa selusin kuda balik bersama dia, tetapi jangan menilai. Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkat? Anda hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh cerita, bagaimana anda dapat menilai? Kalian hanya membaca satu halaman dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang anda tahu hanyalah sepotong! Jangan katakan itu adalah berkat. Tidak ada yang tahu. Saya sudah puas dengan apa yang saya tahu. Saya tidak terganggu karena apa yang saya tidak tahu.”
“Barangkali orang tua itu benar,” mereka berkata satu kepada yang lain. Jadi mereka tidak banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah. Mereka tahu itu adalah berkat. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang.
Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul sekitar orang tua itu dan menilai.
“Kamu benar,” kata mereka, “Kamu sudah buktikan bahwa kamu benar. Selusin kuda itu bukan berkat. Mereka adalah kutukan. Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia tuamu kamu tidak ada siapa-siapa untuk membantumu. Sekarang kamu lebih miskin lagi.”
Orand tua itu berbicara lagi, “Ya, kalian kesetanan dengan pikiran untuk menilai, menghakimi. Jangan keterlaluan. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkat atau kutukan? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang sepotong-sepotong.”
Maka terjadilah 2 minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orang tua tidak diminta karena ia sedang terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orang tua itu sambil menangis dan berteriak karena anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka mungkin tidak akan melihat anak-anak mereka kembali.
“Kamu benar, orang tua,” mereka menangis, “Tuhan tahu kamu benar. Ini membuktikannya. Kecelakaan anakmu merupakan berkat. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya”.
Orang tua itu berbicara lagi, “Tidak mungkin untuk berbicara dengan kalian. Kalian selalu menarik kesimpulan. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini: anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkat atau kutukan. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu.”
Orang tua itu benar. Kita hanya tahu sepotong dari seluruh kejadian. Kecelakaan-kecelakaan dan kengerian hidup ini hanya merupakan satu halaman dari buku besar. Kita jangan terlalu cepat menarik kesimpulan. Kita harus simpan dulu penilaian kita dari badai-badai kehidupan sampai kita ketahui seluruh cerita.
Saya tidak tahu dari mana si tukang kayu belajar menjaga kesabarannya. Mungkin dari tukang kayu lain di Galelia. Sebab tukang kayu itulah yang paling baik mengungkapkannya:
“Janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri.”
Ia adalah yang paling tahu. Ia menulis cerita kita. Dan Ia sudah menulis bab yang terakhir. (sumber kristen.com/ In The Eye of The Storm – Max Lucado)

Anak Ayam Diganti Roti Ayam


Seorang perempuan Kristen mempunyai 2 ekor anak ayam. Anak ayam itu sering mencari makan di halaman rumah tetangganya yang cepat naik darah. Suatu hari tetangganya menangkap kedua anak ayam itu dan mencekik lehernya sehingga mati. Lalu anak ayam itu dilemparkannya kembali melalui pagar. Tentu saja perempuan itu berduka tetapi dia tidak menjadi marah dan mencaci maki tetangganya. Sebaliknya ia mengambil anak ayam itu, mencabuti bulunya dan memasaknya menjadi roti ayam. Kemudian mengirimkan roti ayam tsb ke rumah tetangganya yg telah membunuh anak ayam itu. Perempuan itu meminta maaf karena tidak berhati-hati menjaga anak ayamnya.

Tetangganya tidak bisa berkata apa-apa. Roti ayam dan permintaan maaf itu membuatnya malu. Sebenarnya bukan maksud perempuan itu untuk membuat dia malu tetapi motivasinya membalas kejahatan dgn kebajikan adalah untuk memperlihatkan kasih Kristen yang nyata kepada tetangganya. 


Ingat :
Membalas kasih dengan kebencian adalah kejahatan.
Membalas kasih dengan kasih adalah manusiawi.
Membalas kebencian dengan kasih adalah ilahi.

Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? ( Matius 5:46)

Sumber : Aku Percaya

Burung Gagak & Sebuah Kendi


Pada suatu musim yang sangat kering, saat itu hampir semua binatang mengalami kesulitan untuk mendapatkan air untuk diminum. Demikianlah juga dialami oleh burung-burung, sekali pun  mereka dapat terbang ternyata sangat sulit mendapatkan sedikit air untuk diminum.

Ada seekor burung gagak yang menemukan sebuah kendi yang berisi sedikit air di dalamnya. Tetapi ternyata kendi tersebut merupakan sebuah kendi yang bentuknya agak tinggi dan dengan leher kendi sempit. Bagaimana pun juga burung gagak tersebut berusaha untuk mencoba meminum air yang berada dalam kendi, namun dia tetap tidak dapat mencapainya. Burung gagak tersebut hampir merasa putus asa dan merasa akan meninggal karena kehausan.

Tahukah Anda bahwa burung gagak memiliki kecerdikan tersendiri di banding burung lain pada umumnya? Maka kemudian muncul sebuah ide dalam benak burung gagak tersebut. Burung itu dengan tekun mulai mengambil batu-batu kerikil kecil yang ada di samping kendi, kemudian menjatuhkannya ke dalam kendi satu persatu. Setiap kali burung gagak itu memasukkan kerikil ke dalam kendi, permukaan air dalam kendi pun berangsur-angsur naik dan bertambah tinggi hingga akhirnya air tersebut dapat di capai oleh sang burung Gagak, dan ia pun selamat dari kehausan. (Aesop)

Refleksi:
Walaupun dengan pengetahuan sedikit namun jika dipergunakan dengan maksimal, pengetahuan tersebut dapat menolong diri kita pada saat yang tepat. Bukankah banyak keberhasilan besar terjadi karena ide-ide yang awalnya sangat sederhana namun jika dikembangkan akan memberi dampak yang besar.
Bukan dimana Anda mulai yang penting, tetapi jika Anda sudah memulai, itu yang penting. Joe Sabath mengatakan “Anda tidak perlu menjadi hebat untuk memulai, tetapi Anda harus mulai untuk menjadi hebat.”
Sumber : Inspirasi Jiwa

Kisah Sebuah Benih


Suatu kali ada sebuah benih yang tercecer dan tidak dipedulikan orang. Karena merasa rendah diri, benih itu menganggap dirinya tidak penting. Hingga suatu hari, angin kencang datang dan membuat benih itu terbang – dia tidak tahu akan dibawa kemana – lalu tiba-tiba ia dilemparkan tanpa ampun ke sebuah tanah terbuka dan terpanggang di bawah sinar matahari.

Dia merasa bingung, mengapa ia harus mengalami semuanya itu? Tetapi yang ia butuhkan bukanlah sebuah jawaban, tetapi air hujan sebagai gantinya terik matahari; kadang gerimis dan kadang hujan deras.

Sementara waktu berlalu dan tahun berganti, ia melihat seorang pengelana duduk di dekatnya, “Terima kasih Tuhan untuk ini. Saya sangat membutuhkan istirahat.”

“Apa yang kamu bicarakan?” benih itu bertanya. Pikirnya sang pengelana sedang mengolok-olok dirinya. Benih itu memang melihat beberapa orang duduk di dekatnya dalam beberapa tahun terakhir, namun tidak ada yang berbicara seperti itu.

“Siapa itu?” orang tersebut terkejut.

“Ini aku, Benih..”

“Benih?” Pria itu melihat pohon raksasa itu. “Apa kamu bercanda? Kamu bukan benih. Kamu pohon. Sebuah pohon raksasa!”

“Benarkah?”

“Ya! Kamu pikir kenapa semua orang itu datang ke sini?”

”Untuk apa mereka datang kesini?”

”Untuk berasakan keteduhanmu! Jangan beritahu saya bahwa kamu tidak tahu telah mengalami pertumbuhan bersama berjalannya waktu.”

Sesaat hening ketika pengelana itu selesai mengucapkan kalimat tersebut, dan membuat benih itu sadar siapa dirinya sekarang.

Benih itu sekarang telah menjadi sebuah pohon raksasa. Sambil berpikir, ia tersenyum untuk pertama kalinya. Tahun-tahun melelahkan berada dalam penyiksaan matahari dan hujan akhirnya masuk akal baginya.

“Oh! Itu artinya aku bukan benih kecil lagi! Aku tidak ditakdirkan untuk mati tanpa dikenali siapapun tetapi sebenarnya aku lahir untuk memberi keteduhan bagi orang-orang yang lelah. Wow! Sekarang hidupku seharga ribuan permata!” ucap benih yang telah menjadi sebuah pohon raksasa itu.

Tahukah Anda, kehidupan manusia serupa dengan jalan hidup benih ini. Banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya berharga, dan setiap kesukaran yang dialaminya dimasa lalu adalah sebuah proses untuk membuat mereka kuat dan bertumbuh menjadi pribadi yang besar yang dapat memberkati kehidupan banyak orang.

Ingatlah bahwa hidup Anda lebih berharga dari ribuan permata, karena Anda telah ditebus dengan darah Kristus yang mahal. Hari ini sadarilah, bahwa Anda bukanlah sebuah benih lagi. Anda adalah sebuah pohon dimana ada banyak orang yang bernaung.

Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon; mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita. Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar, untuk memberitakan, bahwa TUHAN itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan pada-Nya.

Sumber : Renungan Harian

Potensi Seorang Anak


Louis Armstrong dikenal karena wajahnya yang penuh senyum, suara serak, saputangan putih, dan permainan terompetnya yang mengagumkan. Namun, masa kecilnya diwarnai dengan kekurangan dan penderitaan. Ia ditinggal ayahnya sejak bayi dan dikirim ke sekolah pendisplinan ketika ia baru berusia 12 tahun. Ajaibnya, ini justru menjadi titik balik yang positif baginya.

Peter Davis, seorang guru musik, secara teratur mengunjungi sekolah tersebut dan memberikan pelatihan musik untuk para anak laki-laki. Dengan segera, terlihat keunggulan Louis dalam permainan terompet dan ia menjadi pemimpin band anak laki-laki. Jalan hidup Louis tampaknya seperti diatur ulang untuk membawa dirinya menjadi seorang pemain terompet yang terkenal di dunia.

Kisah Louis dapat menjadi teladan bagi para orangtua Kristen. “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Ams. 22:6). 

Amsal ini dapat diterapkan lebih dari sekadar aspek rohani dan moral dari kehidupan anak-anak kita. Kita perlu juga menyadari bahwa bakat seorang anak seringkali menentukan minat yang ingin ditekuninya. Dalam kasus Louis, sedikit pelatihan di bidang musik menghasilkan seorang pemain terompet yang berbakat.

Di saat kita dengan penuh kasih memberikan kepada anak-anak kita arahan yang saleh dari firman Allah, kita patut juga memacu mereka untuk mendalami minat dan bakat mereka sehingga mereka dapat menjadi pribadi-pribadi yang sesuai dengan maksud Allah bagi hidup mereka. 



Anak-anak kita adalah hadiah dari Allah
Dipinjamkan dari surga sana,
Untuk dilatih dan dibina di dalam Tuhan,
Dan diarahkan dengan kasih-Nya. 



Menyelamatkan seorang anak berarti menyelamatkan satu kehidupan.

Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu. —Amsal 22:6

Minggu, 16 Oktober 2011

Cinta Tulus Seorang Anak Kecil


Suatu pagi yang sunyi, di suatu desa kecil di Korea, ada sebuah bangunan kayu mungil yang atapnya ditutupi oleh seng-seng. Itu adalah rumah yatim piatu dimana banyak anak tinggal akibat orang tua mereka meninggal dalam perang.

Tiba-tiba kesunyian pagi itu dipecahkan oleh bunyi mortir yang jatuh diatas rumah yatim piatu itu. Atapnya hancur oleh ledakan, dan kepingan-kepingan seng mental keseluruh ruangan sehingga membuat banyak anak yatim piatu terluka. Ada seorang gadis kecil terluka dibagian kaki oleh kepingan tersebut, dan kakinya hampir putus. Ia terbaring diatas puing-puing ketika ditemukan. Pertolongan pertama segera dilakukan kepada anak-anak yatim piatu itu dan seseorang segera dikirim ke rumah sakit terdekat untuk meminta pertolongan.

Ketika para dokter dan perawat tiba, mereka mulai memeriksa anak-anak yang terluka. Ketika dokter melihat gadis kecil itu, ia menyadari bahwa pertolongan yang paling dibutuhkan oleh gadis kecil itu secepatnya adalah darah. Ia segera melihat arsip yatim piatu untuk mengetahui apakah ada anak yang memiliki golongan darah yang sama.

Perawat yang bisa berbicara bahasa Korea mulai memanggil nama-nama anak yang memiliki golongan darah yang sama dengan gadis kecil itu. Beberapa menit kemudian, setelah terkumpul anak-anak yang memiliki golongan darah yang sama, dokter berbicara kepada kelompok anak-anak itu dan perawat menerjemahkan, “Apakah ada diantara kalian yang bersedia memberikan darahnya untuk gadis kecil ini?”

Anak-anak itu tampak ketakutan, tetapi tidak ada yang berbicara. Sekali lagi dokter itu memohon, “Tolong, apakah ada diantara kalian yang bersedia memberikan darahnya untuk teman kalian? Karena jika tidak Ia akan meninggal!”

Akhirnya ada seorang bocah laki-laki di belakan mengangkat tangannya dan perawat segera membaringkannya di ranjang untuk mempersiapkan proses transfusi darah.

Ketika perawat mengangkat lengan bocah untuk membersihkannya, bocah itu mulai gelisah.

“Tenang saja, “ kata perawat itu. “Tidak akan sakit kok.”

Lalu dokter mulai memasukkan jarum, ia mulai menangis.

“Apakah sakit?” tanya dokter itu.

Tetapi bocah itu malah menangis lebih kencang. “Aku telah menyakiti bocah ini!” kata dokter itu didalam hati dan mencoba meringankan sakit bocah itu dengan menenangkannya, tetapi tidak ada gunanya.

Setelah beberapa lama, proses transfusi telah selesai dan dokter itu minta perawat untuk bertanya kepada bocah itu. “Apakah sakit?”

Bocah itu menjawab, “Tidak, tidak sakit.”

Lalu kenapa kamu menangis?” tanya dokter itu.

“Karena aku sangat takut untuk meninggal ,” jawab bocah itu.

Dokter itu tercengang, “Kenapa kamu berpikir bahwa kamu akan meninggal?”

Dengan air mata dipipinya, bocah itu menjawab, “Karena aku kira untuk menyelamatkan dia, aku harus menyerahkan seluruh darahku…”

Dokter itu tidak bisa berkata apa-apa, kemudian dia bertanya lagi, “Lalu jika kamu pikir kamu akan meninggal, kenapa kamu bersedia untuk memberikan darahmu?”

Sambil terisak ia berkata. “Karena dia adalah sahabatku, dan aku mengasihinya….”

Anak itu tahu bahwa karena kasihnya ia harus berkorban, namun ia tetap rela mati demi menyelamatkan seorang sahabatnya.

Sumber : Artikel Kristen

Selasa, 11 Oktober 2011

Nancy Matthews Edison (1810-1871)


Suatu hari,  seorang bocah berusia 4 tahun, agak tuli dan bodoh di sekolah, pulang ke  rumahnya membawa secarik kertas dari gurunya. ibunya membaca kertas tersebut, ”  Tommy, anak ibu, sangat bodoh. kami minta ibu untuk mengeluarkannya dari  sekolah.”
Sang  ibu terhenyak membaca surat ini, namun ia segera membuat tekad yang teguh, ”  anak saya Tommy, bukan anak bodoh. saya sendiri yang akan mendidik dan mengajar  dia.”
Tommy  bertumbuh menjadi Thomas Alva Edison, salah satu penemu terbesar di dunia. dia  hanya bersekolah sekitar 3 bulan, dan secara fisik agak tuli, namun itu semua  ternyata bukan penghalang untuk terus maju.
Tak  banyak orang mengenal siapa Nancy Mattews, namun bila kita mendengar nama  Edison, kita langsung tahu bahwa dialah penemu paling berpengaruh dalam sejarah.  Thomas Alva Edison menjadi seorang penemu dengan 1.093 paten penemuan atas  namanya. siapa yang sebelumnya menyangka bahwa bocah tuli yang bodoh sampai”  diminta keluar dari sekolah, akhirnya bisa menjadi seorang genius? jawabannya  adalah ibunya!
Ya,  Nancy Edison, ibu dari Thomas Alva Edison, tidak menyerah begitu saja dengan  pendapat pihak sekolah terhadap anaknya. Nancy yang memutuskan untuk menjadi  guru pribadi bagi pendidikan Edison dirumah, telah menjadikan puteranya menjadi  orang yang percaya bahwa dirinya berarti. Nancy yang memulihkan kepercayaan diri   Edison , dan hal itu mungkin sangat berat baginya. namun ia tidak sekalipun  membiarkan keterbatasan membuatnya berhenti.