Tampilkan postingan dengan label Kesaksian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesaksian. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 November 2011

Aku Menemukan Kasih Sayang Seorang Bapa Di Dalam Hadirat Tuhan

Aku seorang laki-laki yang lahir dari sebuah keluarga kristen yang biasa-biasa saja. Saya katakan biasa-biasa saja karena keluarga kami hidup bukan sebagai orang-orang Kristen yang hidup sungguh-sungguh dalam Tuhan. Kami tidak didik untuk taat beribadah, bahkan kedua orang tuakupun kegereja hanya sekali dalam setahun yaitu pada saat natal. 
Aku adalah anak kesepuluh dari dua belas orang bersaudara. Perekonomian yang sulit membuat kami hidup apa adanya. Oleh karena penghasilan papa sebagai seorang militer tidak mencukupi kebutuhan dua belas orang anaknya, maka papa mengambil keputusan pensiun dini dan mengerjakan pekerjaan lain yaitu berdagang. 

Dalam kehidupan sehari-hari, papa mendidik kami dengan keras ala disiplin militer karena ia ingin anak-anaknya berhasil. Benar, didikan cara demikian membuat kami segan dan hormat kepada papa. Tidak ada satupun dari kami anak-anaknya berani berbuat macam-macam yang tidak baik diluar, karena bila ketahuan, papa pasti akan marah besar. Didikan yang keras itu membuat kami anak-anaknya, khususnya aku pribadi tidak mengalami pertumbuhan mental dan hubungan sosial yang baik. Aku tumbuh menjadi seorang yang grogian, minder dan tidak berani tampil di depan umum. Bahkan puncak dari kegagalan pertumbuhan mental itu adalah aku menjadi orang yang gagap. Hal itu membuat semakin aku tidak banyak berkomunikasi dengan anak-anak lainnya takut di ejek gagap. Aku hanya memiliki satu orang teman kompak yang bernama Hardiman. Oleh sebab itu aku lebih sering bercerita pada diriku sendiri daripada bersenda gurau dengan anak-anak lain. Namun ada satu perasaan yang sering menghinggapi aku, aku sering merindukan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu sedang merindukan apa. Aku sering menitikkan airmata karena rasa rindu itu. Aku sering duduk di sudut samping rumah sambil menitikkan air mata karena merasakan perasaan rindu itu. 

Papa jarang memuji dan memanjakan kami, khususnya aku walaupun aku berprestasi di kelas. Memang sejak kelas satu SD aku sering masuk dalam rangking 3 besar. Namun papa jarang sekali memberi hadiah ataupun kata-kata pujian atas prestasi itu. Seingatku, hanya satu kali papa memberi hadiah dan pujian kepadaku. Itu terjadi pada waktu natal, aku lupa tahun berapa. Papa memberiku uang Rp. 100,- sebagai hadiah karena papa menilai aku sangat bagus dalam membacakan liturgi natal. Sejak saat itu aku berusaha untuk membacakan liturgi sebagus-bagusnya pada setiap natal, namun sejak itu papa tidak pernah lagi memberi hadiah. 

Mama berbeda dengan papa, mama orangnya pendiam dan banyak menutup diri dari lingkungan luar. Kayaknya beratnya beban hidup dan latar belakang pendidikan yang tidak tamat Sekolah Rakyat (SR) membuat mama lebih banyak berdiam diri dan hanya mengurus kami semampunya saja. Jujur, walaupun demikian aku tidak pernah membenci dan sakit hati kepada kedua orang tuaku. 

Tamat SMP, aku melanjutkan SMA di kota Kabanjahe. Aku sekolah disana agar aku dibiayai oleh kakakku yang telah berumah tangga dan tinggal di sana karena papaku sudah tua dan sakit-sakitan sehingga tidak sanggup lagi membiayai sekolahku. Namun setelah beberapa bulan di sana aku mengalami duka yang amat dalam karena pada saat itu papa berpulang ke rumah Bapa. Aku takut kalau kakakku tidak mau lagi membiayai sekolahku karena papa sudah tidak ada. Ternyata ketakutanku tidak terbukti karena kakak dan suami kakakku memegang teguh amanat papa untuk menyekolahkan bahkan menguliahkanku.

Semasa SMA pertumbuhan kerohanianku semakin merosot. Aku sangat jarang ke gereja. Boleh dibilang kalau dihitung palingan hanya empat sampai lima kali saja aku ke gereja dalam setahun. Di sekolah aku anak yang berprestasi, aku selalu menjadi juara kelas, namun itu semua tidak membuat aku bertumbuh dengan sehat. Aku seorang murid yang pendiam dan kurang pergaulan. Saat itu, aku juga tidak mempunyai banyak teman. Aku hanya punya seorang teman akrab sebangku yang bernama Alfian. Aku menyadari dan ingin merobah kekuranganku, itulah sebabnya aku ikut olahraga Tae Kwon Do ketika Alfian mengajakku bergabung dengan harapan melalui olahraga ini karakter dan mentalku dapat diperbaiki. Empat tahun aku ikut olah raga beladiri itu namun ternyata kegiatan itu tidak dapat mengubah karakterku. Bahkan sampai kuliah dan bekerja aku tetap menjadi seorang pemuda yang pemalu, pendiam, grogian, gagap dan masih sering merasakan suatu perasaan rindu yang aku sendiripun tidak tahu merindukan apa. Kelemahan ini membuat karirku tidak berkembang, aku stress dan putus asa. 

Aku mulai aktip dalam kegiatan kerohanian pada tahun 2000. Teman-teman sekerja sering mengajak aku untuk ikut kebaktian dalam ibadah yang di lakukan setiap hari jumat di lingkungan kantor. Beberapa waktu kemudian aku diminta untuk ikut ambil pelayanan dalam bidang musik karena ibadah itu perlu seorang pemusik untuk mengiringi lagu pujian. Aku diminta untuk memainkan gitar, karena dari sekian banyak pemuda yang ada, hanya aku yang paling bisa memainkan gitar. Maka dengan sangat terpaksa jadilah aku pelayan Tuhan untuk pertama dalam hidupku.

Ternyata pelayanan yang pada awalnya terpaksa itu membuat aku semakin membuka diri kepada Tuhan. Kerinduan yang sejak kecil kurasakan yang aku sendiripun tidak tahu rindu akan apa, mulai terjawab. Semakin lama aku semakin aktip ikut ibadah baik dalam ibadah kebaktian di perusahaan maupun ibadah di gereja. Setiap hari minggu aku sudah mulai rajin ke gereja. Aku mulai menumpahkan segala permasalahanku kepada Tuhan. Jikalau dulu aku suka berbicara kepada diri sendiri, kini aku sudah menumpahkan semua perasaanku kepada Tuhan.

2 January 2002
Seorang teman sekerja mendatangi aku sambil menyodorkan selembar kertas jeruk berwarna biru yang bentuknya persis pembatas alkitab. Pada ujung kertas itu ada pita berwarna merah. Teman itu berkata bahwa pada malam kebaktian akhir tahun di gerejanya mengadakan ibadah, dimana dalam ibadah tersebut pimpinan jemaat meminta setiap anggota untuk mengambil satu buah kertas yang berisi firman Tuhan sebagai ayat pegangan dalam memulai tahun yang baru. Entah kenapa teman tersebut teringat kepadaku dan berdoa dan kemudian mengambil satu lembar. Lembaran itulah yang diberikan kepada saya. Ayat yang tercantum pada kertas itu diambil dari II Korintus 3 : 12 yang berbunyi :

Karena kami mempunyai pengharapan yang demikian, maka kami bertindak dengan penuh keberanian,

Ini adalah ayat yang singkat, sederhana namun mempunyai makna yang sangat berarti bagiku. Berbulan-bulan aku mempergumulkan ayat ini. Seolah-olah ayat ini berteriak-teriak kepadaku “Ayo, tunggu apa lagi bertindaklah dengan penuh keberanian! Jangan engkau pikirkan apa kata orang lain. Kalau ikut Tuhan harus berani ambil keputusan". Jujur, saya sangat takut untuk serius ikut Tuhan karena takut saya tidak sanggup. Takut tidak bisa menikmati kesenangan dunia ini, takut tidak bisa merubah cara hidup saya, takut dikatakan orang sok alim dan banyak ketakutan lainnya. 

Sejak awal bulan Mei 2002, gereja mengumumkan bahwa akan diadakan babtisan air. Setiap mendengar pengumuman itu hatiku berkecamuk. Aku ingin mendaftar tapi keraguan dan ketakutan terus menghimpit. Namun, semakin ketakutan dan keraguan menghimpit, semakit kuat pula ayat itu berteriak “Ayo! Tunggu apa lagi! Bertindaklah dengan penuh keberanian!”. 
Akhirnya pada kamis malam 3 hari sebelum babtisan diadakan aku berlutut di hadapan Tuhan. Dengan berurai air mata aku berdoa “Tuhan, Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Aku ingin benar-benar serius dalam mengiring Engkau!. Namun aku takut, Tuhan!” (seraya menyebut ketakutanku satu persatu). Tak berapa lama kemudian ada sesuatu yang menyentuh hatiku, tiba-tiba aku merasakan suatu aliran damai sejahtera yang selama ini tidak pernah kurasakan. Rasanya sangat damai sekali dan aku merasakan ada suara lembut di dalam hatiku yang berkata begini “Jangan takut, kuatkan hatimu. Beri dirimu dibabtis, selebihnya biarlah menjadi urusan-Ku”. Perkataan itu sangat menguatkanku dan malam itu aku minta ampun kepada Tuhan dan mengambil keputusan untuk ikut di babtis. 

Pada tanggal 27 Juli 2002 setelah selesai ibadah pengajaran firman yang biasa diadakan sabtu malam, aku mendatangi pengurus gereja dan mendaftarkan diri untuk ikut dalam babtisan air yang akan diadakan pada tanggal 28 Juli 2002 besoknya. Hatiku benar-benar lega karena segala kesesakan telah terlepas. 

28 Juli 2002
Tepat pada jam 14.00 WIB ibadah pembabtisan dimulai dengan pujian penyembahan dan kotbah. Selama ibadah berlangsung rasa suka cita yang amat besar menyelimuti hatiku. Tak terasa air mata suka cita menitik. Satu persatu kenangan akan masa-masa lalu yang suram yang terjadi sejak kecil muncul di pelupuk mataku. Namun satu hal, aku tidak bersedih lagi seperti sebelumnya bila mengingat kejadian itu. Sekarang yang ada adalah suka cita. Terjawab sudah apa yang menjadi kerinduanku selama ini. Ternyata selama ini aku merindukan berada di hadirat Tuhan dan merasakan jamahan kasih sayang seorang yang benar-benar menjadi Bapaku, itulah Tuhan Yesus. Puncak dari sukacitaku adalah ketika aku melangkah perlahan menuju kolam pembabtisan, di tenggelamkan dan bangkit kembali. Hari itu segala kerinduanku sudah dipuaskan. Segala bebanku di lepaskan. Tuhan telah ambil segala bebanku dan memberikan beban yang baru yang sangat enak dan ringan yaitu beban pelayanan. Jadi,benarlah apa yang tertulis dalam Matius 11:28-30 yang berbunyi begini :

"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan."

Dan sejak hari itu kupersembahkan hidupku hanya bagi Tuhan. Aku mau melayani Dia seumur hidupku bagi hormat serta kemulianNya.

Rabu, 19 Oktober 2011

Kesuksesan Samuel Membawa Petaka


Kesuksesan tidak selalu berdampak positif bagi yang mengalaminya. Tanpa karakter yang kuat, kesuksesan  dapat membuat seseorang lupa diri. Salah seorang mengalami lupa diri saat sukses seperti ini adalah Samuel Lekahena.
Kisahnya dimulai saat ia baru saja mendapatkan jabatan baru dan diperkenalkan oleh seorang rekan kerjanya pada seorang wanita, Ita Purnamawardani. Tiga bulan menjalin hubungan, Ita langsung meminta Samuel menikah. Pernikahannya terlihat bahagia, apa lagi sang istri tidak lama kemudian mengandung. Namun inilah pengakuan Samuel:
“Waktu istri saya mulai hamil, saya masih bisa selingkuh.”
Yang lebih kejam lagi, Samuel selingkuh dengan wanita yang mengenalkannya pada sang istri yang tak lain rekan satu kerjanya dan juga tetangganya.
“Awalnya mungkin karena kasihan, karena dia sering curhat akhirnya kami jadi berhubungan seperti itu,” demikian jelas Samuel.
Hubungannya dengan wanita selingkuhannya membuat sikap Samuel berubah, semua itu dilakukannya untuk menutupi kecurigaan sang istri.
“Saya kasar sama dia, dengan dia diam, saya pikir masalah selesai.”
Tapi sebaik apapun kebusukan ditutupi, baunya pasti tercium juga. Demikian juga dengan perselingkuhan Samuel, apa yang tidak pernah dipikirkannya terjadi. Dua orang polisi mendatangi rumah Samuel. Istrinya yang sedang hamil tua shock saat Samuel di cokok oleh polisi.
“Saya melihat istri saya dalam kondisi seperti itu, saya hanya bisa menyesali diri saja..” ungkap Samuel.
Selepas Samuel dibawa oleh polisi, tetangganya yang adalah suami dari perempuan yang menjadi selingkuhan Samuel datang kepada Ita dan menjelaskan bahwa Samuel itu telah menghamili istrinya. Itu sebabnya ia melaporkan Samuel kepada polisi.
“Kok ada masalah seperti ini, saya ngga mau anak ini lahir.. Setelah saya nangis, saya sadar kalau saya pukulin perut saya nanti anak saya lahir cacat,” demikian Ita bertutur sambil matanya berkaca-kaca.
Sekalipun telah disakiti, namun masih ada cinta di hati Ita untuk Samuel. Karenanya, Ita dengan setia tetap mengunjungi Samuel di penjara. Penyesalan dan maaf, itu yang terlontar dari mulut Samuel. Tapi penyesalan itu ada saat ia dibalik jeruji, ketika ia telah bebas dan kembali bekerja, semua penyesalan itu tidak diingatnya lagi.
“Dengan gampang sekali saya mendapatkan uang, akhirnya saya pacari dua orang karyawan saya. Waktu yang harusnya buat istri, saya pakai untuk bersama mereka.”
Jauh dilubuk hati Samuel, sebenarnya ia tidak ingin menjadi seperti itu. Prilakunya tak jauh beda dengan prilaku ayahnya, pribadi yang ia benci.
“Begitu ibu saya hamil, bapak saya tidak bertanggung jawab,” tutur Samuel. “Saya belum pernah mengenal sosok seorang ayah di rumah, hidup maunya saya sendiri. Tidak ada yang bisa melarang.”
Tapi kini, dirinya jadi seperti sang ayah. Ia menjadi pria yang tidak punya perasaan, bahkan ia dengan berani membawa wanita selingkuhannya ke rumah. Suatu hari, salah seorang selingkuhannya memberitahu Ita bahwa Samuel tengah bersama seorang wanita. Sudah tak tahan dengan ulah Samuel, Ita pun mendatangi rumah wanita itu.
“Kalau kamu sayang sama suami saya, kamu ambil juga ngga papa!” demikian ucap Ita sambil menggandeng anaknya. “Saya rela kok, ambil aja. Tapi panggil orangtua kamu!”
“Kamu juga,” tunjuk Ita pada Samuel. “Panggil orangtua kamu, silahkan daripada kamu berbuat zinah!”
Untuk menenangkan keadaan, akhirnya Samuel pulang kerumah. Tiba dirumah, Samuel seperti telah dibutakan oleh cinta sesaatnya dengan wanita selingkuhannya.
“Waktu itu saya sudah kalut, ya sudahlah. Ini sudah tidak bisa dipertahankan. Kita bubar saja..” permintaan cerai itu akhirnya dilontarkan oleh Samuel.
Ita seperti tidak percaya Samuel tega mengatakan hal itu, hatinya hancur. Padahal dirinya sudah mengorbankan banyak hal untuk mempertahankan rumah tangganya, termasuk perasaan dan harga dirinya.
”Pengin saya, rumah tangga itu harmonis,” ucap Ita. “Tapi kok dia minta cerai..”
Ita menanggapi serius pernyataan Samuel, ia pun mengemas barang-barang miliknya dan anaknya. Tapi tiba-tiba Samuel datang.
“Maafin saya ya… Saya sangat sayang sama kamu,” demikian ungkap Samuel.
“Saya cuma bisa bilang saya nyesal. Tapi itulah perbuatan-perbuatan saya. Saya takut, sampai saat ini pun saya masih takut, saya takut anak saya mengalami seperti apa yang saya lakukan pada orang lain,” jelas Samuel.
Samuel sungguh beruntung memiliki istri seperti Ita yang begitu berbesar hati menerima permintaan maafnya yang kesekian kalinya.
Tapi badai belum selesai menerpa rumah tangga Samuel dan Ita. Perusahaan tempat Samuel bekerja gulung tikar karena krisis, dan Samuel pun dirumahkan. Tanpa pekerjaan dan uang, Samuel pun putus dengan wanita-wanita selingkuhannya. Saat itu, dirumah memperhatikan istri dan anaknya yang masih tetap rajin beribadah, muncul sebuah kegalauan di hati Samuel.
“Timbul dalam benak saya, harusnya saya jadi sosok ayah yang baik. Harusnya saya menjadi nahkoda yang baik. Tapi saat itu bukan saya yang jadi nahkoda, tapi saya yang jadi anak buah. Saya lihat anak saya antusias dan suka beribadah. Kenapa saya ngga? Disitu saya merasa malu, merasa tertuduh terhadap diri saya sendiri.”
Melihat ketekunan istri dan anaknya, akhirnya Samuel memutuskan untuk membuat sebuah langkah yang akan mengubah hidupnya.
“Aku boleh ngga ikut?” demikian tanya Samuel pada sang istri yang akan pergi beribadah.
Dengan sangat antusias dan gembira  Ita menjawab, “Boleh… ngga ada yang larang kok..”
Melihat tanggapan istri dan anaknya, Samuel bersemangat. Ia tahu bahwa masih ada istri dan anaknya yang mengharapkannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sejak itu, Samuel mulai rajin mengikuti berbagai ibadah. Hingga suatu hari di sebuah seminar rohani, ia mengalami sesuatu dalam batinnya.
“Disitu ada banyak sesi yang memberkati saya, terutama hal mengampuni dan mengaku dosa. Disitu saya belajar mengampuni bapak saya sekalipun dia menyakiti saya. Disitu saya dapat, kalau saya tidak mengampuni bapak di dunia, bagaimana Bapak di Sorga mau mengampuni saya. Saat itu saya juga mengakui dosa-dosa saya. Pada saat saya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat saya secara pribadi, saya merasakan bahwa dosa-dosa saya sudah diampuni. Akhinya saya diingatkan bahwa seorang imam yang baik itu dia harus bisa melindungi, dia harus berdoa, dia harus bisa menjaga keluarganya. Luar biasa, lega banget.”
Setelah mengikuti seminar tersebut, Samuel langsung menghubungi istrinya melalui SMS, “Saya minta ampun sama dia, dan puji Tuhan ada kata pengampunan buat saya.”
Berlahan-lahan, kepercayaan Ita pada Samuel mulai pulih. Ita bukan hanya melepaskan pengampunan pada Samuel, namun juga pada wanita-wanita mantan selingkuhan suaminya. Kini, Samuel dan Ita menjalani babak baru dalam kehidupan rumah tangga mereka.
“Saya bisa berubah seperti ini, itu karena kuasa Tuhan. Istri saya sendiri tidak sanggup untuk mengubah saya. Hanya Yesus saja, Tuhan yang memampukan saya dan merubah saya,” demikian ungkap Samuel menutup kesaksiannya. (Kisah ini ditayangkan 13 Oktober 2011 dalam acara Solusi Life di O’Channel)

Sumber Kesaksian:
Samuel Lekahena